15 November 2011

Ekspedisi: Istana Rumbia dan Dieng, Wonosobo (Wisata Sastra) -- part. 2

Hawa dingin menyerang seluruh tubuh yang hanya berbalut kaos tipis. Wonosobo memang terkenal dengan hawanya yang dingin. Dan, kami terbangun karena hasrat ingin ke belakang.

Pukul 08.00 (13/11). Persediaan makanan dan minuman sudah dipersiapkan--tempe kemul dan kopi menjadi andalan Wonosobo. Kami telah bersiap dengan dua mobil carry untuk meluncur ke Dieng. Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di Dieng, dari Istana Rumbia.

jalan menuju Dieng
Perjalanan ke Dieng sangat asik sekali. Hamparan hijau sawah menghalau mata untuk menatap. Menikmati setiap inchi kabut tebal yang terpancar dari atas bukit. Menikmati panorama alam dengan carica-nya yang khas Wonosobo. Bau khas pupuk yang mirip bau terasi. Semuanya, INDAH.

Di kawah Dieng, kami disambut hujan yang aneh—sebentar hujan, sebentar reda. Dan terbukti dinginnya Dieng telah membuat salah satu teman kami mengalami hipotermia. Bagi teman-teman (yang alergi dingin atau tak tahan dengan dingin) dan ingin pergi ke Dieng, diharapkan mempersiapkan hal-hal berkenaan dengan penghangat tubuh. Ya, bisa jaket dobel, minyak kayu putih, topi untuk kepala dan telinga, syal, kaos kaki-sepatu, sarung tangan, dsb.

kawah Dieng, tampak jauh

kawah Dieng, tampah dekat

minim payung
Oia, sebelum memasuki kawah Dieng, di perjalanan kami menemukan tabung silinder panjang yang nggak ada habisnya, panjang berkelok-kelok dengan isi uap gas dari perut Dieng. Dan kata Bunda Maria, zaman dulu pernah ada seorang tetua yang mengatakan bahwa kota Wonosobo tidak akan makmur sebelum ada ular naga yang melingkar di Dieng. Katanya, uap gas tersebut itulah ular naga yang dimaksud.

Dari kawah Dieng, kami beranjak ke Candi Dieng. Karena cuaca tak memungkinkan, kami hanya berfoto sebentar di Candi Gatot Kaca yang dekat dengan jalan raya.


Setelahnya, kami pulang dan tak mampir ke Telaga Warna. Hal ini disebabkan telaganya yang sudah tak rupawan, dan keadaan cuaca yang tidak mendukung.

Di perjalanan pulang, kami menempuh rute yang berbeda yaitu melewati hamparan pohon teh. Indah sekali. Dan sekali lagi, penyakit narsis kami diuji. Untungnya, dari pihak donatur memperbolehkan kami untuk turun sebentar dan berfoto-foto hehe....

si Tien lagi pose *sudah saya tepati janjinya*

jalan di antara kebun teh
Pukul 17.30 sampai di Istana Rumbia. Istirahat.

Pukul 18.30 telah berkumpul beberapa budayawan dan sastrawan dari Wonosobo untuk diskusi bersama SECOTENG di Istana Rumbia. Hal yang didiskusikan adalah Tari Lengger. Pun saya sebenarnya juga belum pernah melihat pertunjukan tari Lengger ini. Mendengar namanya saja baru pertama kali itu hehe.

SECOTENG bersama  budayawan WOnosobo--diskusi kelestarian tari Lengger
Pukul 20.00, kami meninggalkan Wonosobo dari Istana Rumbia, bertolak ke Yogyakarta, kemudian Solo.

Ekspedisi yang sangat keren sekali, karena bisa bertemu dengan penulis-penulis keren. Pun saya adalah seorang penulis. Penulis kehidupan! :D

tempat beli oleh-oleh

oleh-oleh: carica dan singkong rasa gadung

PS: Hanya satu hal yang membuat saya kecewa. Saya kepengen makan MIE ONGKLOK. Huhuu.... Saya pikir bakalan mampir untuk makan mie ongklok tetapi ternyata tidak. Saya pikir pula, di dekat Dieng akan ada yang jual mie ongklok, tetapi juga tidak ada. Ahh...dunia kejam! Di sepanjang jalan yang kami lalui dengan mobil, berjajar-jajar warung makan yang menjual mie ongklok. Saya semakin meleleh. Dan sudah saya putuskan, akan mencari mie ongklok di Yogyakarta untuk memuaskan hasrat!

4 comments:

ekoph said...

Jadi pengiiiinnnn...!!!

trisuntea said...

silakan mengunjungi Wonosobo... :)

Tinwarotul Fatonah said...

fotoku bagus ya...makasih mbak santi yang paling cantik....hhhaha

trisuntea said...

iya dong, kan saya yang memfoto :p