27 November 2011

GERBONG

Tuuutt tttuuut tuuuut...
Siapa hendak turuuut...
Ke Bandung, Surabaya...
Bolehlah naik dengan percuma....

Ah, lagu itu terdengar bergema di sekujur tubuhku. Tapi, sejenak aku berpikir, kenapa harus Bandung dan Surabaya? Kenapa bukan Jakarta yang telah menjadi ibu kota negara? Atau Yogyakarta yang pernah menjadi ibu kota negara?

Dan satu hal yang membuatku galau selama ini. Kenapa harus naik dengan cuma-cuma?

***

“Cangcimen! Cangcimen rambute.... Kacang, kwaci, permen! Rambutan, jambu, mete!”

“Sesok barange kudu wis tekan Jakarta. Aku lagi otw Solo, rep njupuk barange! Aku ra percoyo nek lewat pos, mending jupuk dewe!" [1]

“Karcis! Karcis!”

“Anjing! Punya mata nggak sih!”

“Mijon, mijon! Aqua dingin! Pop mie panas!”

“Gimana proposal proyek kita, sudah disetujui pimpinan?”

“Nasi, nasi! Nasi ayam.... Nasi, Mas?”

***

Suasana sangat riuh. Berulang, kalimat itu menjadi objek harian yang datang dan pergi meninggalkan kerutan rasa. Aku hanya diam menahan letih. Berjibun manusia memperkosaku. Menyiksaku dengan segala kebisingan dan ambisi diri. Apa peduli kalian terhadapku?

Pejabat, masinis, penumpang gelap, calo, eksmud [2], penjual, dan manusia-manusia lain yang datang dan pergi selalu meninggalkan bekas mendalam di relung tubuhku. Ingin aku berteriak meminta tolong, tapi kepada siapa? Kepada siapa aku harus membebankan segala kerisauanku, kegundahanku? Semua yang aku rasakan? Kaki-kakiku, tak kuat lagi untuk menapak!

***

“Pak, saya pesan 20,” kata seorang lelaki yang menjepit rokok di antara jari tengah dan telunjuknya, kepada Bapak Peminta Karcis. Penampilannya selalu begitu. Memakai topi, dengan tas kecil diselipkan di pinggangnya.

“Inget, terget!” tutur Bapak Peminta Karcis kepada lelaki yang mungkin sudah dikenalnya. Aku juga sering melihatnya. Ia selalu memberikan karcis di dalam kereta dan di luar kereta kepada penumpang dan calon penumpang yang tidak punya karcis. Lelaki yang menjepit rokok itu, selalu menaiki kereta pergi-pulang. Dan, aku tahu, lelaki itu bukan penjual karcis seperti penjual karcis yang ada di loket luar.

“Semprul! Telung puluh ewu nek gelem. Ra gelem yowis. Paling didunke!” [3] kata lelaki itu suatu ketika Bapak Peminta Karcis hendak memeriksa karcis penumpang.

“Larang temen, mas! Selawe?” [4] kata si Ibu yang ditawari karcis oleh lelaki itu.

Lelaki itu menggelengkan kepala, tanda tidak terima dengan penawaran si Ibu. Akhirnya, si Ibu mengulurkan tangan dengan uang Rp.30.000,00 dalam genggamannya.

Tiba Bapak Peminta Karcis memeriksa karcis penumpang, lelaki itu tersenyum sarat makna kepadanya.

***

Aku iri dengan teman-teman yang lain. Mereka lebih terjamin hidupnya, daripada aku. Terlebih lagi, dengan teman-teman yang ada di luar negeri. Mereka tampak bersih. Tak mendapat gangguan sepertiku. Aku ingin ketenangan, bukan kebisingan.

Aku ingin sejenak beristirahat. Tubuhku sepertinya tak mampu lagi untuk menapaki kaki-kaki yang sejajar tak pernah bertemu. Mengingat pemerkosaan yang selalu mereka lakukan kepadaku, kepada tubuhku, selalu membuatku ingin dibesituakan.

Aku tak tahu siapa dalang semua ini? Kamu? Kalian? Mereka? Entah!
Seingatku, aku pernah bermanfaat selain dibesituakan. Kau tahu cerita dari negeri seberang? Dari negara Tokyo. Temanku ada di sana. Ia menjadi ruang kelas di sekolah Tomoe Gakuen, yang dikepalai oleh Mr. Sosaku Kobayashi. Aku merasa beruntung sekali, ketika ada seseorang yang menyanjungku seperti Tetsuko Kuroyanagi [5]. Ia menulis tentangku. Tentang gerbong-gerbong yang dijadikan tempat untuk pendidikan.

Ah... Di sini, kapan aku akan diperlakukan dengan baik?

-tamat-

[1] “Besok barangnya harus sudah sampai Jakarta. Aku sedang on the way ke Solo. Ngambil barangnya! Aku tidak percaya kalau lewat pos. Mending aku ambil sendiri!”

[2] Eksekutif muda

[3] “(umpatan dalam bahasa Jawa)! Tiga puluh ribu, kalau mau. Kalau nggak mau ya sudah. Paling diturunin!”

[4] “Mahal sekali, Mas! Dua puluh lima (ribu)?”

[5] Penulis Buku Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela

No comments: