25 August 2010

Pengakuan Bilik Termenung

Aku telah lama berdiri kokoh di sini, menjadi hunian sementara oleh orang-orang yang ingin menyalurkan hasrat diri. Aku bukanlah tempat suci. Akan tetapi, tak sedikit orang yang mengagumi. Bahkan, mereka menganggapku sebagai tempat terindah untuk inspirasi, memberi rasa nyaman, dan kepuasaan hati yang tak terperi. Tanpa disadari, kejujuran akan selalu terungkap di sini, di tempat ini.
***

“Fa, gua duluan ya yang mandi. Sekalian ni. Uda kebelet gua!” pinta seorang wanita berumur sekitar 21 tahun kepada temannya, Zulfa. Segera, ia melucuti pakaiannya, dan serta merta mendudukkan pantatnya ke koslet. Sejurus ia termenung, sedih. Bisa terlihat kesedihan itu dari titik air mata yang telah meluncur, menyatu dalam genangan air di lantai. Makin lama kian menjadi. Ia tengah menikmati keadaannya dengan terisak. “Gua uda nggak perawan,” rintihnya, seirama dengan bunyi ingus yang dia semprotkan, dan bunyi “plung” di bawah sana. “Cha, lu uda selesai belum? Cowok gua mau numpang ke belakang ni,” teriak Putri, membuyarkan renungan Rossa yang biasa dipanggil Ocha itu. “Bentar lagi Put,” kata Chaca menimpali.


Tak lama, Rossa keluar hanya berbalut handuk yang dililitkan ke badannya. Hal ini memang sering dilakukannya, mengingat kost ini adalah kost wanita. “Put, gua uda!” teriak Rossa dari dapur yang menyatu dengan toilet. Pacar Putri berlari-lari kecil menuju toilet dan segera memasukinya. Rossa tak mengira hal itu akan terjadi. Ia sudah terlanjur berpapasan dengan pacar Putri hanya dengan berbalut handuk. Sepintas, Dodi, pacar Putri memang tak terlalu memperhatikan Rossa. Akan tetapi, tidak untuk naluri kelaki-lakiannya.
Di dalam toilet, Dodi memang telah menyudahi ritual buang hajatnya tetapi belum menyudahi ritual ekspresi pikirannya. Ia tengah membayangkan hal lain ketika berpapasan dengan Rossa yang hanya berbalut handuk. Tak kuasa menahan hasrat naluri kelaki-lakiannya, ia tumpahkan kegelisahan itu dengan tangan di selangkangan.
***
Apapun bisa terjadi di sini, di tempat ini. Pikiran-pikiran, aku bisa merasai. Semua jelas terpampang, dan terbuka di sini. Engkau tak akan bisa membohongi diri sendiri karena di sini adalah bilik hati. Lambang dari perasaan dan nurani. Panjang dan lebarku memang tak seberapa, mungkin hanya sepanjang kaki. Akan tetapi, meskipun aku gelap dan lembab, tempatku ini tidak akan pernah terganti, tidak akan ada yang menandingi.
 ***
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, Zulfa telah memasuki kamar yang gelap dan lembab itu. Diam-diam ia memasukkan sesuatu ke dalam koslet. Sebuah karet tapi bukan sembarang karet. Karet itu berbentuk lonjong dan ada cairan kental di dalamnya. Cepat-cepat ia menyiram koslet itu, agar karet yang bukan sembarang karet itu lenyap terbawa arus air. “Lu ngapain Fa?” tanya Rossa. Zulfa lupa menutup pintu ketika membuang karet yang bukan sembarang karet itu. Zulfa tergagap. “Ini Cha, tadi kurang bersih nyiramnya,” kilah Zulfa. Rossa hanya manggut-manggut meng-iya-kan pernyataan Zulfa. “Lu, sudah? Gua kebelet ni!” kata Rossa sambil memegangi perutnya. Zulfa pergi meninggalkan Rossa.

Rossa telah menyelipkan sesuatu di kantong celana tidurnya. Suatu benda yang biasanya digunakan untuk uji tes kehamilan. Nanar matanya masih terbendung ketika ia mengeluarkan benda tersebut dari tempat persembunyiannya. Ia menggenggam benda itu dengan kuat. Ia topangkan kedua tangannya untuk menyangga beban pikiran di kepalanya. Tetes demi tetes bendungan air mata telah jebol menyatu dengan genangan air di lantai yang berlumut itu. “Maafin Ocha, Ma, Pa,” ucapnya terbata-bata dengan isakan tangisnya. Rossa masih terbengong di situ. Tanpa genggaman benda yang baru pertama kali ia pegang. Ia telah melenyapkannya bersama air dalam koslet. Air matanya masih menetes. Berseliweran satu demi satu cita-citanya yang akan kandas karena perbuatan bodohnya. Bermunculan orang-orang terdekatnya yaitu keluarganya yang telah ia kecewakan. Tok tok tok! Terdengar suara pintu diketuk dari luar, membuyarkan tangisan Rossa.

“Cha, Lu nggak pa-pa di dalam? Lu uda sejam di dalam sana,” oceh Putri dari luar. Karena tidak ada jawaban, Putri mengetuk pintu lebih keras. Ia khawatir. “Cha! Buka Pintunya!” Terdengar kunci di buka dari dalam. Rossa terlihat sayu dan lunglai. “Lu nggak pa-pa, Cha?” tanya Putri. “Gua nggak pa-pa, Put. Cuma kurang enak badan aja,” kata Rossa sembari meninggalkan Putri yang masih mematung di dapur. Sejenak ia berpikir yang terjadi pada Rossa akhir-akhir ini. Akan tetapi, segera terbuyar. Ia lupa akan misi utamanya mengetuk kamar yang lembab itu. Buru-buru, ia memasukinya.

“Alhamdulillah,” ucap Putri ketika terdengar bunyi “plung” dari bawah sana. Sepertinya ia tampak berseri-seri. Di benaknya telah terbentuk sebuah setting ruang makan yang dihadiri oleh dirinya, Dodi, dan orang tua Dodi. Tadi malam, ia telah diajak ke rumah Dodi untuk menghadiri undangan makan malam dari orang tua Dodi, serta mengenalkan Putri sebagai pacar baru Dodi. Di tambah pula pendaratan bibir yang sempurna, yang dilakukan oleh Dodi kepada Putri. Hal ini membuat Putri kelimpungan. Ia tidak bisa membohongi dirinya yang tengah dilanda kebahagiaan yang luar biasa. Terbukti dari topangan kedua tangan Putri di dagunya yang terjatuh akibat ketukan pintu dari luar yang mengagetkan dirinya. “Put, Lu mau tidur di toilet? Lama bener! Gua mau gosok gigi plus cuci muka ni!” teriak Zulfa. “Iyeee, bentar lagi!” jawab Putri diselingi guyuran air dalam koslet.
***
Apapun namanya, aku tetaplah hanya sebuah kamar yang gelap dan lembab. Orang Malaysia menyebutku Bilik Termenung. Orang Indonesia menyebutku toilet yang disadur dari bahasa asing. Akan tetapi, aku lebih suka menyebut diriku Bilik Termenung. Sebuah bilik yang selalu menghadirkan renungan. Entah itu baik atau buruk, entah itu menyenangkan atau menyedihkan. Aku akan tetap ada karena orang membutuhkan. Meskipun, hanya untuk sekedar menyalurkan hasrat kejiwaan.
***
Berita yang menggemparkan pagi itu...
“Telah ditemukan mayat wanita yang bernama Rossa (20 tahun) di toilet kost Melati. Dugaan sementara dari hasil otopsi mayat, Rossa bunuh diri karena hamil....”

No comments: