Meski sebenarnya saya masih memendam rasa sebal sama dia ini, tapi ya begitulah adanya. Karena pengalaman ini tidak hanya terjadi sekali. Tapi berkali-kali, walopun bukan hanya saya yang mengalami. Ini adalah sedikit curhat, sedikit pengalaman, dan sedikit introspeksi diri.
*menghela napas* Beginilah ceritanya.
Hmmm…
Ya, cukup! Saya sedikit malu. Jadi, begini *to the point*. Tadi saya dipanggil ibu oleh seseorang yang tidak saya kenal *lega* *nangis di bawah pohon pisang* *pengen gantung diri di pohon rumput*
Jadi, dia yang saya maksud di atas itu adalah mas-mas yang manggil saya dengan sebutan “ibu” itu *nangis darah* *nggak rela*.
Sebelum saya ada di ruang kampus ini, saya mengisi perut dulu di Bakso Pak Ateng, dan saya makan mie ayam pangsit dengan minum air es. Nah, sewaktu enak-enaknya nyedot mie panjang ini, tiba-tiba…dari belakang terdengar suara.
Dia: Permisi ya, Ibu? *sambil mengambil wadah sambel di depan saya*
Untung waktu itu saya sedang dalam keadaan mulut penuh dengan mie. Jika tidak, saya pasti akan langsung bilang, “LIHAT ini baik-baik MAS, SEPATU saya yang GAhoollL, Helm saya yang juga GAoll, tas saya mas. LiHAT! Ini tas distro mas, gahool! *walopun dapat gratisan*, dan MUKA saya MAS. LIHAT ini mas, muka saya. Betapa imut!!!!!” sambil nggeretin kerah bajunya.
APakah ibu-ibu ada yg pake sepatu seperti ini? |
helm ini saya taruh di meja sebelah saya |
Kurang gahol kah saya sbg anak muda? |
Dunia saya seakan runtuh mendengar pengakuan tak terduga dari si mas-mas itu. Kejamnya dunia. Dunia telah mendewasakan saya. Bukan, bukan hanya saya. Termasuk juga manusia-manusia lain, yang secara tidak sadar telah dianggap dewasa oleh dunia.
Pertama, Kakak saya. Sebut saja Setyo dan itu nama sebenarnya.
Waktu itu saya menemai Mas Set untuk menanyakan kabar motherboard di salah satu toko yang service benda tersebut. Nah, mbaknya bilang, “maaf, bapak, sepertinya belum jadi. Nanti kalo jadi pasti Bapak akan dihubungi oleh kami.”
Saya sempat terkejut, menganga, tak mengatupkan bibir atas dan bibir bawah *sama aja dodol*, lidah menjulur keluar dan terengah-engah *tidak yang terakhir ini bo’ong*. Mas Set yang telah hidup dengan saya, hampir 22 tahun itu telah dipanggil Bapak oleh orang lain. Sempat saya berpikir, mungkin itu karena jenggotnya yang dipanjangkan. Tapi ternyata bukan karena jenggot anehnya itu. Ato mungkin karena perut buncitnya? Ahh..mungkin juga bukan *piss mas, jangan dituntut ya?*
Kedua, mba kos saya. Sebut saja dia, hmm…ya, mba kos saja deh.
Ini terjadi ketika saya tengah mengantarkan mba kos ke tempat saudara cowok, yang nge-kos. Nah,berhubung itu kos-kosan, jadi kita bertanya kepada cowok yang sedang mengeluarkan motor di situ.
Mba kos: Maaf, di sini benar ada yang namanya *tiiiiiitttttttt sensor*?
Co: Iya, ada. Sebentar Bu’, saya panggilkan.
Dan, si mba kos langsung berlutut memohon ampun kepada Tuhan. Heh, salah!
Dia, hanya memandang saya dengan tatapan mata yang hampir memuntahkan isinya.
Mba kos: Hah? Ibu, San?
Saya: Sabar, mba…
Begitulah akhirnya… Dan, sekarang saya hanya bisa berkata sabar kepada diri sendiri. Sekarang saya tahu bagaimana rasanya didewasakan oleh orang lain.
Terkadang, secara tidak sadar manusia tidak merasakan bahwa dirinya telah beranjak tua. Ya, untuk keadaan psikologis mungkin bagus, karena seperti lagunya mbah Rhoma “DARAH MUDA” selalu semangat. Namun, di balik semua itu, manusia harus selalu mengingat bahwa dunia ini tidak selamanya dilihat. Dunia telah membuat waktu seakan tidak dirasakan oleh manusia, sehingga ia lupa bahwa ia telah meninggalkan masa balita/kanak-kanak/remaja/dewasa.
Begitulah kisah mengharukan hari ini.
*menyendiri di bawah pohon ciplukan*
Salam emansipasi!
2 comments:
setyo
sante aja kalee... :p
hehehe... :D
Post a Comment