Lian terpekur di dalam kamarnya yang gelap. Sengaja tak
ia nyalakan lampu yang biasa meneranginya. Padahal ia bukanlah gadis yang suka
gelap. Suasana hatinya sudah tak lagi mengingat fobia yang dideritanya.
Butiran bening itu masih tetap saja meluncur dari sudut
matanya. Tanpa jeda, seperti aliran memori yang kini berhias di setiap tetes
butiran itu. Keinginannya melanjutkan kuliah kandas di tengah jalan. Koran yang
memuat ribuan nama dan namanya itu hanyalah fatamorgana yang tak jadi terwujud.
***
“Ibu, hanya seorang pedagang jamu, Nak. Maafkan ibu jika
tak bisa membiayai cita-citamu untuk mejadi dokter,” tutur Ibu Lian, parau. Ibu
sebenarnya tak ingin melontarkan tuturan tersebut.
“Tak apa, Bu. Mungkin ini belum jalan Lian. Lian akan
terus berusaha untuk menggapai cita,” katanya, berlalu meninggalkan Ibu yang
masih terduduk di ruang tamu.
***
Lian berjalan gontai menuju kamar, menutupnya, mengunci
diri. Gelap. Ia tak tahu, di balik jalan ini, masih terbentang jalan panjang
yang bercabang.
No comments:
Post a Comment