Selamat hari Jumat.
Sebenarnya Jumat ini rencana mau review novelnya Permaisuri Dee Lestari yang terbaru Aroma Karsa. Tapi nihh, berhubung saya lagi dapat challenge dari temengila saya, akhirnya saya terimalah tantangannya.
Paragraf ini dia yang bikin:
"Seorang pria terkejut saat bangun dari tidur, dan berada ditahun 1930, sementara orang2 yang dikenalnya memakai pakaian jaman dulu, padahal pria ini memakai pakaian jaman sekarang dan membawa smartphone. Apa yang terjadi sehingga pria ini terkapar di Rumah Sakit Belanda saat itu? Apa yang terjadi dengan semua orang?"
Challenge-nya, saya disuruh ngembangin ntu paragraf.
Dan, voila! Silakan dibaca 😁
Seorang pria terkejut ketika mendapati dirinya terlentang di tempat tidur Rumah Sakit dengan keadaan pakaian lengkap yang masih ia kenakan ketika di kantor tempat ia bekerja hari itu. Ia mendongak ke luar ruangan yang ternyata ada banyak orang lalu lalang dengan memakai baju yang lain dari yang biasanya ia lihat. Ia mengerut pelipisnya yang pening. Masih setengah tersadar, seorang suster menghampiri kasurnya dan mengecek komputer yang ada di sebelahnya. Beberapa kabel tertempel di dadanya. Suster tersebut tak memedulikan reaksi dan tatapan pria yang ada di sampingnya itu. Seakan pria itu tertidur lelap.
Dalam kebingungan yang belum ada jawabnya, seorang pria lain yang ia kira dokter datang menghampiri suster tersebut. Ia mengenakan setelan dan jas serba putih.
"Bagaimana keadaannya, Sus? Sudah ada kemajuan?" tanya dokter itu yang dikenali sebagai Dokter Herman lewat papan nama yang tersemat di bajunya.
Suster mengecek data yang ia bawa sekali lagi, "seharusnya sudah bisa siuman, Dok, karena semua kondisi sudah bagus!"
Pria itu tercekat. "Sus, ini saya sudah siuman masak dibilang belum siuman? Ngajak bercanda suster ini."
Suster dan dokter Herman tidak mengindahkan perkataan pria tersebut.
"Dok, ini saya sudah siuman Dok! Suster, saya sudah siuman! Sussster, lihat ke sini, Sus! Keterlaluan!" rutuk pria tersebut dan kemudian bangun untuk menarik tangan suster. Tak disangka, ia tak bisa menyentuh tangan suster. Tembus. Kepalanya semakin pening.
___
"Ren, hari ini kita shoot terakhir pukul 3 sore ya?" ujar Fatih, manager Rendra. "Kita akan shoot di ruangan terakhir di Villa ini yang paling eksotis. Lain dari pada yang lain," lanjutnya.
Rendra masih sibuk dengan smartphone di genggamannya ketika Fatih dengan semangat membara menceritakan villa yang kini menjadi tempat kerjanya.
"Lain daripada yang lain gimana sih? Perasaan juga sama saja, angker begini bentuknya," rutuk Rendra, bergidik.
Fatih semakin memasang raut wajah tegang, "kata pemilik terakhir Villa ini, ruangan itu dulu adalah ruangan yang dipakai untuk meditasi." Tutur Fatih lirih dan dramatis dengan menambahkan tekanan di kata meditasi.
Rendra melengos.
___
Pria itu akhirnya bangkit. Ia berdiri memunggungi tempat tidur. Ada yang tertinggal di sana. Ya, ada yang tertinggal. Dan ia merutuki dirinya sendiri kenapa hal yang paling tidak masuk akal ini terjadi padanya. Dengan sisa pening yang mereda, ia berupaya membalik badannya, memastikan bahwa yang ada di atas tempat tidur itu adalah guling.
Pria itu menarik napas panjang, kemudian membuangnya kembali.
"Baik, aku siap!"
Ia membalik langkah kakinya pelan-pelan. Mengatupkan kedua matanya.
"Jika memang ini mimpi, semoga mimpi ini segera berakhir. Jika ini kenyataan, hah, sialah aku!" rutuknya.
Setelah berbalik, ia membuka kedua matanya perlahan. Menyiapkan segenap hatinya untuk menerima kenyataan yang akan ia ingat seumur hidup.
Senyap.
Pria itu melihat seseorang yang mirip dengannya tengah berbaring tak sadarkan diri. Ia memakai baju kemeja lengan panjang dengan sedikit kerut di pergelangan tangan. Kancing baju yang terbuka karena beberapa kabel yang tertempel di dadanya. Celana panjangnya juga berwarna putih. Semua putih, selaras dengan warna kulitnya.
"Ini ... Aku?"
Belum genap ia tamatkan rasa penasaran yang membuncah oleh sebab dan harap akan penjelasan entah dari siapapun, tiba-tiba seorang perempuan datang dengan mengendap-endap.
___
Rendra memasuki ruangan itu dengan takzim. Ia berkeliling ruangan yang penuh dengan lukisan taman, villa yang sekarang ia tempati, dan beberapa foto keluarga serba hitam putih. Ia mengamati salah satu foto. Seperti foto keluarga. Ada seorang Pria berjenggot yang berdiri dengan seorang putri di depannya, lalu di sampingnya duduk seorang wanita dan memangku seorang putra. Ia menemukan angka di sudut foto, dekat dengan garis figura "June 1930". "Wow, ini sudah lama sekali," pikir Rendra.
Fatih masih tampak sibuk duduk bersilandengan memangku leptop. Jemarinya sibuk menggeser tetikus, memindahkan foto yang menurutnya layak jual dan tidak.
Sang fotografer, Dito, masih sibuk membenahi area kerjanya. Sesekali mengecek lampu dan kamera. Sesekali Yasmin terlihat membantu Dito, sebelum akhirnya mendekati Rendra.
"Asyik sekali sepertinya," sapa Yasmin ke arah Rendra.
Rendra memalingkan wajahnya ke arah Yasmin. "Eh, iya. Ini, fotonya. Tertulis di sini tahun 1930. Sudah lama sekali bukan?" tanya Rendra kepada Yasmin, yang sesungguhnya cocok disebut sebagai pernyataan.
Yasmin hanya tersenyum. Ia tahu itu, lebih dari yang Rendra dan timnya ketahui.
____
Perempuan itu terlihat sangat memesona. Kulitnya tampak putih, dengan wajah yang merona merah. Ia memakai terusan, ah gaun tepatnya dengan ikatan longtorso dari dada hingga pinggang. Membuatnya tampak ramping dan menyembulkan sedikit dadanya yang membusung.
"Habis main opera di mana perempuan ini?" pria itu tak habis pikir. Ia tahu, perempuan itu tak akan bisa melihat dirinya.
Perempuan itu menuju tempat tidur. Menatap pria yang tengah tak sadarkan diri itu.
"Leon, ini aku Patricia. Kamu masih di sana?"
Perempuan yang bernama Patricia itu tampak gelisah. Ia mendekatkan wajahnya ke kening pria yang ternyata bernama Leon itu kemudian mendaratkan bibir yang merah meski tanpa polesan lipstik.
"Besok aku akan ke sini lagi. Maafkan jika aku hanya bisa sebentar ke sini. Ayah melarangku untuk menjengukmu."
Wajah itu muram. Pelan, ia longgarkan jemari tangan Leon yang terpaut, yang sejak kedatangannya tadi ia raih untuk digenggam.
Pria yang masih tak terlihat itu tertegun. "Leon, siapa kamu? Kenapa kamu bisa mirip denganku? Siapa itu Patricia? Kenapa aku di sini?" Ia menjambaki rambutnya sendiri. Serasa kepalanya tak sanggup menopang banyaknya pertanyaan.
___
"Oke Rendra, semuanya sudah siaap!" seru Fatih.
Yasmin masih memuas bedak dan beberapa polesan lipbalm untuk Rendra ketika Fatih memanggilnya. Yasmin hanya mengacungkan jempol tanda siap kepada Fatih.
Selesai meletakkannya semua peralatan make-upnya, Yasmin memandang Rendra, mengukir hasil kerja kerasnya selama ini. Rendra tersenyum.
"Jangan lama-lama liatinnya, nanti kamu suka lagi sama saya," goda Rendra.
Yasmin hanya membalas dengan senyum kecil. Hingga kemudian mengulum senyum itu cepat, "Rendra, kamu harus siap dannn ... berhati-hatilah."
Lirih ia mengucapkan kata "berhati-hati", seakan tak rela jika kata itu terdengar oleh Rendra. Rendra tak menjawab, hanya membulatkan ibu jari dan telunjuknya, memperlihatkan kesiapannya.
"Ini bukan sekedar pemotretan Rendra. Ada seseorang yang membutuhkan pertolonganmu. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena bukan aku yang bisa, tapi kamu."
Dito sudah siap di belakang lensa kameranya, "yok, Rendra di posisi!"
Rendra mulai mengambil posisi di tengah ruangan. Ruangan itu memang lengang. Tak ada kursi dan meja. Hanya lemari kuno yang sempat tadi Rendra mau buka ternyata dikunci, dan pajangan dinding termasuk foto yang ia amati tadi.
"Rendra, saya mau kamu bersila di sana dengan kedua tanganmu bertemu dan taruh di depan dada," perintah Dito sambil memeragakan apa yang diintruksikan olehnya.
Rendra mulai bersila, mempertemukan kedua telapak tangannya dan menaruhnya di depan dada.
"Merem, Ren," lanjut Dito memberikan intruksi. "Oke ... Sempurna! Satuu, duaa, tiigaa ...!"
Cahaya berkilat, dan semuanya gelap bagi Rendra.
___
Dan kisah ini dibikin BERSAMBUNG karena waktunyagak nyandak kurang lama.
Oh iya, judulnya sementara dulu ya. Soalnya masih belum jelas ini kisahnya mau dibawaaa ke mana hahaha.
Kalau ada kripik pedas alias masukan, boleh loh dikomentarin. Biar ada secercah harapan mau dibawa ke mana ini arah ceritanya. Hehehe
Sebenarnya Jumat ini rencana mau review novelnya Permaisuri Dee Lestari yang terbaru Aroma Karsa. Tapi nihh, berhubung saya lagi dapat challenge dari temen
Paragraf ini dia yang bikin:
"Seorang pria terkejut saat bangun dari tidur, dan berada ditahun 1930, sementara orang2 yang dikenalnya memakai pakaian jaman dulu, padahal pria ini memakai pakaian jaman sekarang dan membawa smartphone. Apa yang terjadi sehingga pria ini terkapar di Rumah Sakit Belanda saat itu? Apa yang terjadi dengan semua orang?"
Challenge-nya, saya disuruh ngembangin ntu paragraf.
Dan, voila! Silakan dibaca 😁
<<<<<<<<<Chek this out >>>>>>>>>>
Seorang pria terkejut ketika mendapati dirinya terlentang di tempat tidur Rumah Sakit dengan keadaan pakaian lengkap yang masih ia kenakan ketika di kantor tempat ia bekerja hari itu. Ia mendongak ke luar ruangan yang ternyata ada banyak orang lalu lalang dengan memakai baju yang lain dari yang biasanya ia lihat. Ia mengerut pelipisnya yang pening. Masih setengah tersadar, seorang suster menghampiri kasurnya dan mengecek komputer yang ada di sebelahnya. Beberapa kabel tertempel di dadanya. Suster tersebut tak memedulikan reaksi dan tatapan pria yang ada di sampingnya itu. Seakan pria itu tertidur lelap.
Dalam kebingungan yang belum ada jawabnya, seorang pria lain yang ia kira dokter datang menghampiri suster tersebut. Ia mengenakan setelan dan jas serba putih.
"Bagaimana keadaannya, Sus? Sudah ada kemajuan?" tanya dokter itu yang dikenali sebagai Dokter Herman lewat papan nama yang tersemat di bajunya.
Suster mengecek data yang ia bawa sekali lagi, "seharusnya sudah bisa siuman, Dok, karena semua kondisi sudah bagus!"
Pria itu tercekat. "Sus, ini saya sudah siuman masak dibilang belum siuman? Ngajak bercanda suster ini."
Suster dan dokter Herman tidak mengindahkan perkataan pria tersebut.
"Dok, ini saya sudah siuman Dok! Suster, saya sudah siuman! Sussster, lihat ke sini, Sus! Keterlaluan!" rutuk pria tersebut dan kemudian bangun untuk menarik tangan suster. Tak disangka, ia tak bisa menyentuh tangan suster. Tembus. Kepalanya semakin pening.
___
"Ren, hari ini kita shoot terakhir pukul 3 sore ya?" ujar Fatih, manager Rendra. "Kita akan shoot di ruangan terakhir di Villa ini yang paling eksotis. Lain dari pada yang lain," lanjutnya.
Rendra masih sibuk dengan smartphone di genggamannya ketika Fatih dengan semangat membara menceritakan villa yang kini menjadi tempat kerjanya.
"Lain daripada yang lain gimana sih? Perasaan juga sama saja, angker begini bentuknya," rutuk Rendra, bergidik.
Fatih semakin memasang raut wajah tegang, "kata pemilik terakhir Villa ini, ruangan itu dulu adalah ruangan yang dipakai untuk meditasi." Tutur Fatih lirih dan dramatis dengan menambahkan tekanan di kata meditasi.
Rendra melengos.
___
Pria itu akhirnya bangkit. Ia berdiri memunggungi tempat tidur. Ada yang tertinggal di sana. Ya, ada yang tertinggal. Dan ia merutuki dirinya sendiri kenapa hal yang paling tidak masuk akal ini terjadi padanya. Dengan sisa pening yang mereda, ia berupaya membalik badannya, memastikan bahwa yang ada di atas tempat tidur itu adalah guling.
Pria itu menarik napas panjang, kemudian membuangnya kembali.
"Baik, aku siap!"
Ia membalik langkah kakinya pelan-pelan. Mengatupkan kedua matanya.
"Jika memang ini mimpi, semoga mimpi ini segera berakhir. Jika ini kenyataan, hah, sialah aku!" rutuknya.
Setelah berbalik, ia membuka kedua matanya perlahan. Menyiapkan segenap hatinya untuk menerima kenyataan yang akan ia ingat seumur hidup.
Senyap.
Pria itu melihat seseorang yang mirip dengannya tengah berbaring tak sadarkan diri. Ia memakai baju kemeja lengan panjang dengan sedikit kerut di pergelangan tangan. Kancing baju yang terbuka karena beberapa kabel yang tertempel di dadanya. Celana panjangnya juga berwarna putih. Semua putih, selaras dengan warna kulitnya.
"Ini ... Aku?"
Belum genap ia tamatkan rasa penasaran yang membuncah oleh sebab dan harap akan penjelasan entah dari siapapun, tiba-tiba seorang perempuan datang dengan mengendap-endap.
___
Rendra memasuki ruangan itu dengan takzim. Ia berkeliling ruangan yang penuh dengan lukisan taman, villa yang sekarang ia tempati, dan beberapa foto keluarga serba hitam putih. Ia mengamati salah satu foto. Seperti foto keluarga. Ada seorang Pria berjenggot yang berdiri dengan seorang putri di depannya, lalu di sampingnya duduk seorang wanita dan memangku seorang putra. Ia menemukan angka di sudut foto, dekat dengan garis figura "June 1930". "Wow, ini sudah lama sekali," pikir Rendra.
Fatih masih tampak sibuk duduk bersilandengan memangku leptop. Jemarinya sibuk menggeser tetikus, memindahkan foto yang menurutnya layak jual dan tidak.
Sang fotografer, Dito, masih sibuk membenahi area kerjanya. Sesekali mengecek lampu dan kamera. Sesekali Yasmin terlihat membantu Dito, sebelum akhirnya mendekati Rendra.
"Asyik sekali sepertinya," sapa Yasmin ke arah Rendra.
Rendra memalingkan wajahnya ke arah Yasmin. "Eh, iya. Ini, fotonya. Tertulis di sini tahun 1930. Sudah lama sekali bukan?" tanya Rendra kepada Yasmin, yang sesungguhnya cocok disebut sebagai pernyataan.
Yasmin hanya tersenyum. Ia tahu itu, lebih dari yang Rendra dan timnya ketahui.
____
Perempuan itu terlihat sangat memesona. Kulitnya tampak putih, dengan wajah yang merona merah. Ia memakai terusan, ah gaun tepatnya dengan ikatan longtorso dari dada hingga pinggang. Membuatnya tampak ramping dan menyembulkan sedikit dadanya yang membusung.
"Habis main opera di mana perempuan ini?" pria itu tak habis pikir. Ia tahu, perempuan itu tak akan bisa melihat dirinya.
Perempuan itu menuju tempat tidur. Menatap pria yang tengah tak sadarkan diri itu.
"Leon, ini aku Patricia. Kamu masih di sana?"
Perempuan yang bernama Patricia itu tampak gelisah. Ia mendekatkan wajahnya ke kening pria yang ternyata bernama Leon itu kemudian mendaratkan bibir yang merah meski tanpa polesan lipstik.
"Besok aku akan ke sini lagi. Maafkan jika aku hanya bisa sebentar ke sini. Ayah melarangku untuk menjengukmu."
Wajah itu muram. Pelan, ia longgarkan jemari tangan Leon yang terpaut, yang sejak kedatangannya tadi ia raih untuk digenggam.
Pria yang masih tak terlihat itu tertegun. "Leon, siapa kamu? Kenapa kamu bisa mirip denganku? Siapa itu Patricia? Kenapa aku di sini?" Ia menjambaki rambutnya sendiri. Serasa kepalanya tak sanggup menopang banyaknya pertanyaan.
___
"Oke Rendra, semuanya sudah siaap!" seru Fatih.
Yasmin masih memuas bedak dan beberapa polesan lipbalm untuk Rendra ketika Fatih memanggilnya. Yasmin hanya mengacungkan jempol tanda siap kepada Fatih.
Selesai meletakkannya semua peralatan make-upnya, Yasmin memandang Rendra, mengukir hasil kerja kerasnya selama ini. Rendra tersenyum.
"Jangan lama-lama liatinnya, nanti kamu suka lagi sama saya," goda Rendra.
Yasmin hanya membalas dengan senyum kecil. Hingga kemudian mengulum senyum itu cepat, "Rendra, kamu harus siap dannn ... berhati-hatilah."
Lirih ia mengucapkan kata "berhati-hati", seakan tak rela jika kata itu terdengar oleh Rendra. Rendra tak menjawab, hanya membulatkan ibu jari dan telunjuknya, memperlihatkan kesiapannya.
"Ini bukan sekedar pemotretan Rendra. Ada seseorang yang membutuhkan pertolonganmu. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena bukan aku yang bisa, tapi kamu."
Dito sudah siap di belakang lensa kameranya, "yok, Rendra di posisi!"
Rendra mulai mengambil posisi di tengah ruangan. Ruangan itu memang lengang. Tak ada kursi dan meja. Hanya lemari kuno yang sempat tadi Rendra mau buka ternyata dikunci, dan pajangan dinding termasuk foto yang ia amati tadi.
"Rendra, saya mau kamu bersila di sana dengan kedua tanganmu bertemu dan taruh di depan dada," perintah Dito sambil memeragakan apa yang diintruksikan olehnya.
Rendra mulai bersila, mempertemukan kedua telapak tangannya dan menaruhnya di depan dada.
"Merem, Ren," lanjut Dito memberikan intruksi. "Oke ... Sempurna! Satuu, duaa, tiigaa ...!"
Cahaya berkilat, dan semuanya gelap bagi Rendra.
___
Dan kisah ini dibikin BERSAMBUNG karena waktunya
Oh iya, judulnya sementara dulu ya. Soalnya masih belum jelas ini kisahnya mau dibawaaa ke mana hahaha.
Kalau ada kripik pedas alias masukan, boleh loh dikomentarin. Biar ada secercah harapan mau dibawa ke mana ini arah ceritanya. Hehehe
1 comment:
Merinding ceritanya... Dih leon amnesia... Kelihatannya mesin waktu kamera deh... Entah seperti apa bentuknya yang bisa ngelempar orang ke 1930 ini.. lanjut bu suntea,
Dibikin novel.
Post a Comment