Hujan ini
membawaku mengalun ke beberapa hari yang lalu ketika pilkades berlangsung. Aku
belum cerita bukan mengenai hasil dari pilkades itu.
“Memang
penting?” tanyamu pasti.
“Tentu saja
penting!” kataku tegas.
“Kenapa
penting?” tanyamu lagi.
Dan berulang,
aku menjawab pertanyaanmu, “karena aku akan banyak bercerita di sini. Banyak
bercerita mengenai hal-hal yang tentu saja baru bagiku.”
Lantas kamu
terdiam dan aku terus bercerita.
Aku mulai
ceritaku.
Pilkades
kemarin menghadirkan dua calon dengan simbol gambar kelapa dan jagung. Aku
sendiri tentu saja memilih salah satu dari salah dua pilihan tersebut. Jika pihak kelapa aku sebut sebagai penguasa
dukuh Barat, aku menyebut pihak
jagung sebagai penguasa dukuh Timur. Dan desa aku tinggali bernama desa Barat-Timur (BT)
Masing-masing calon beserta tim suksesnya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaring dan mendata siapa saja kiranya yang akan masuk menjadi pemilih tetap. Di BT, kami menyebutnya SABET. Sabet inilah yang menjadi tim sukses dan kadang merangkap menjadi penyandang dana. Sabet ini akan mencari BITING (calong pemilih tetap) untuk dijadikan sasaran.
Hmmm… pernah
mendengar adanya “amplop” sebagai tanda ucapan terima kasih karena telah
memilih calon kades? Iya, amplop ini ternyata dibagikan secara nyata. Tidak lagi sembunyi-sembunyi atau melalui jalur belakang. Aku sendiri tak mengira bahwa ternyata antara calon pemimpin dan rakyatnya saling mendukung untuk berbuat tidak baik.
Jumlah nominal di dalam amplop juga mempengaruhi besar minat calon pemilih untuk memilih calon kades. Semakin tingga nominal, semakin tinggi hasrat calon pemilih untuk menjadi pemilih tetap. Kecuali orang-orang terdekat calon kades. Biasanya mereka akan dengan sukarela memilih calon kades tersebut.
Sebenarnya aku tak terlalu heran dengan istilah "amplop" ini. Sudah biasa bagiku yang hidup di tengah-tengah kepalsuan keadilan. Yang aku herankan adalah bukti dari kesanggupan mereka untuk memilih calon kades ketika pemilihan berlangsung. Tau apa yang mereka perbuat? Mereka memotret kertas yang digunakan untuk memilih dengan coblosan pada gambar tertentu. Inilah bukti yang mereka maksud. Bukti bahwa mereka benar-benar telah menerima amplop dan menyanggupi untuk memilih calon kades tersebut.
Waktu aku di dalam bilik pemilih, aku tak habis pikir akan masalah ini. Bahkan aku tak pernah berpikir mengabadikan moment pencoblosan itu. Aku baru mengetahui ini beberapa hari setelah merebak kabar banyak pemilih yang ingkar. Iya, ingkar menjadi biting.
"Sudah selesai ceritanya?" tanyamu memotong ceritaku.
Aku langsung tergagap, "apa kamu bosan?"
"Tidak. Hanya saja, mungkin kamu perlu menyembunyikan permasalahan yang kamu ceritakan tadi itu," katanya tegas membuatku bingung.
"Ada yang salah dengan ceritaku? Apa kamu tidak suka?"
"Bukan begitu. Aku hanya tak ingin jika suatu saat nanti aku menemuimu di bui."
Tak ada lagi ucap. Tak ada lagi kata. Semua ceritaku berakhir dalam kepalsuan.
Sebenarnya aku tak terlalu heran dengan istilah "amplop" ini. Sudah biasa bagiku yang hidup di tengah-tengah kepalsuan keadilan. Yang aku herankan adalah bukti dari kesanggupan mereka untuk memilih calon kades ketika pemilihan berlangsung. Tau apa yang mereka perbuat? Mereka memotret kertas yang digunakan untuk memilih dengan coblosan pada gambar tertentu. Inilah bukti yang mereka maksud. Bukti bahwa mereka benar-benar telah menerima amplop dan menyanggupi untuk memilih calon kades tersebut.
Waktu aku di dalam bilik pemilih, aku tak habis pikir akan masalah ini. Bahkan aku tak pernah berpikir mengabadikan moment pencoblosan itu. Aku baru mengetahui ini beberapa hari setelah merebak kabar banyak pemilih yang ingkar. Iya, ingkar menjadi biting.
"Sudah selesai ceritanya?" tanyamu memotong ceritaku.
Aku langsung tergagap, "apa kamu bosan?"
"Tidak. Hanya saja, mungkin kamu perlu menyembunyikan permasalahan yang kamu ceritakan tadi itu," katanya tegas membuatku bingung.
"Ada yang salah dengan ceritaku? Apa kamu tidak suka?"
"Bukan begitu. Aku hanya tak ingin jika suatu saat nanti aku menemuimu di bui."
Tak ada lagi ucap. Tak ada lagi kata. Semua ceritaku berakhir dalam kepalsuan.
No comments:
Post a Comment