Anganku melambung jauh menembus awan ketika mengamati sebuah lukisan yang dipajang di dinding kamar. Sahabatku, Wanda, menghadiahkannya kemarin malam disaat ulang tahunku yang ke tujuh belas. Lukisan yang sangat indah.
“Maya! Happy birth day ya!” teriak Wanda saat memasuki kamarku.
“Ya ampun Wanda, pelanan dikit bisa gak sih,” kataku. Wanda hanya cengengesan mendengar protesku.
“Emmm btw, anyway, busway, temen-temen pada ke mana? Kok nggak kelihatan batang hidungnya?” tanya Wanda.
“Ya belumlah sahabatku sayang. Lihat tuh, undangannya pukul tujuh kamu datang pukul lima,” tuturku gemas, sambil nunjuk-nunjuk waktu di kertas undangan.
“Lupa. Heheheheh,” jawab Wanda dengan senyum khas tak berdosanya.
“Eh, ni kado dariku buka dong, buatanku sendiri lhoh. Satu lagi, no comment untuk kadoku. Nggak boleh diceramahin,” sambung Wanda sambil geleng-geleng kepala dengan menyertakan juga ujung jari telunjuknya bergerak ke kanan dan kiri. Tingkahnya yang seperti itu membuatku geli.
Wanda menjulurkan bungkusan tersampul rapi yang sejak tadi ditentengnya ke mana-mana. Dengan perlahan, kubuka kado dari Wanda. Woww, indah sekali.
“Wanda, ini …,” belum lengkap olehku bicara, dia memotongnya.
“No coment, ok!” katanya dengan ketus. Padahal aku hanya ingin mengutarakan bahwa lukisan yang dibuat Wanda sangat indah sekali. Seneng banget nerima kado dari sahabatku, Wanda. Aku….
“Wanda, huhuhuu…,” aku menangis dan memeluk Wanda.
“Lhoh lhoh lhoh, kok nangis?” Wanda tampak bingung, dan meneruskan ucapannya, “maaf ya Maya, cuma itu yang bisa Wanda kasih buat Maya. Ya... memang gak seberapa, soalnya itu buat sendiri,” sesenggukan memelukku.
“Duh, ni anak. Buat orang gemes aja!” gerutuku dalam hati, dan air mataku sudah tak berniat lagi untuk menetes karena tingkahnya itu. Aku tertawa, “hahahaha…!!”
Wanda terkejut dan dengan segera melepaskan pelukannya, memegang keningku dengan punggung tangannya. “Kamu gak apa-apa kan May? Abis nangis kok malah ketawa ngakak gitu?” tutur Wanda, masih dengan tampang blo’onnya yang khas.
Dengan lantang aku berkata dan menepiskan tangannya dari keningku, “aku gak apa-apa Wanda sayang, hehehe….”
“Tuh kan ketawa lagi, dasar orang aneh kamu itu May!” kesel denganku.
“Huhh! Kamu itu yang aneh, ada-ada aja yang diperbuat,” kataku.
Wanda melotot ke arahku dan kubiarkan saja. Walaupun Wanda orangnya agak-agak dalam tanda kutip, akan tetapi dia adalah sosok sahabat yang baik.
Tengah malam menjelang. Teman-teman undangan sudah pulang sejak pukul sembilan malam tadi. Hanya masih satu yang tertinggal, Wanda. Dia sengaja menemaniku, menginap di rumahku hingga pergantian hari menuju tanggal aku dilahirkan.
Detik-detik menuju tengah malam.
“Maya mau buat permintaan apa di hari ulang tahun ini?” tanyanya.
“Emmm, apa ya? Bingung…,” jawabku, membuatnya penasaran.
“Lhoh, kok bingung. Gak boleh bingung. Aku bantuin mikir ya, gimana?” ujarnya ingin membantuku.
Aku berpikir sejenak. Sengaja membuatnya bertanya-tanya dengan tingkahku.
“Gak usah Wanda, sudah dapat kok. Barusan, hehehee…,” kataku.
“Emang Maya buat permintaan apa?” tanya dia kepadaku dengan tampang serius.
“Ada deeehhh…,” jawabku, membuatnya kesal. Aku hanya tertawa dalam hati, “kena kamu Wanda, aku kerjain. Hihihi.”
Paginya.
“Maya. Tante. Wanda pulang dulu ya,” ujar Wanda memelukku kemudian mencium punggung telapak tangan Ibuku.
“Makasih ya, Wan,” kataku.
“Hati-hati di jalan ya Nak,” pesan Ibuku kepada Wanda.
“Iya Tante,” jawabnya.
Aku sudah berpesan kepada Wanda, kalau sudah sampai rumah, aku suruh untuk menghubungiku. Akan tetapi, sampai siang belum ada kabar dari Wanda. Aku mencoba telepon ke HP-nya tetapi tidak aktif. “Mungkin dia langsung tidur dan HP-nya mati,” pikirku menenangkan hati.
Sore ketika aku mengamati lukisan dari Wanda, perlahan Ibu membuka pintu kamarku.
“Maya, tadi ada telepon,” kata Ibu mengawali pembicaraan.
“Buat Maya, Bu? Telepon dari Wanda?” tanyaku bersemangat.
Entah kenapa Ibu bertingkah aneh, tahu-tahu Ibu meraih tanganku kemudian memelukku seraya berkata, “yang sabar ya Nak. Tadi yang telepon Ibunya Wanda. Ibunya bilang Wanda kecelakaan.”
Aku bergegas melepaskan pelukan Ibuku, meraih tangan dan mengajaknya pergi, “ayo Bu, jenguk Wanda sekarang.”
Ibuku terdiam dan masih duduk di tempat tidurku. Sejenak Ibu terdiam, baru kemudian Ibu mengiyakan ajakanku. Disuruhnya aku berganti pakaian yang rapi.
Ada yang aneh, Ibuku mengenakan pakaian warna hitam, “ibu kok pake item-item gitu. Jarang-jarang Ibu pakai baju itu,” tanyaku. Ibuku hanya membalasnya dengan senyuman.
Di tengah perjalanan aku bertanya kepada Ibu, ”Bu, kita ke rumah sakit mana?”
“Wanda sudah di rumah, Nak,” jawab Ibuku.
Aku terdiam dan sedikit lega, “berarti kecelakaannya tak parah,” pikirku.
Sesampai di rumah Wanda, aku tercekat. Banyak orang di rumah Wanda dengan memakai pakaian hitam, seperti warna yang dipakai juga oleh Ibuku.
Aku semakin bertanya-tanya. Di sudut mataku telah terbentuk genangan air. “Ibu, apa yang terjadi?” tanyaku terbata-bata kepada Ibu.
Ibuku hanya diam, dan menuntunku ke ruang tamu di antara para tamu-tamu yang lain. Aku lemas seketika. Kulihat senyum Wanda yang masih tersungging meski tubuhnya telah terbujur kaku dengan kain batik menutup setengah badannya. Aku menangis, dan memeluknya.
“Wanda! Kenapa kamu ninggalin aku? Tahukah kamu permintaan yang aku inginkan di hari ulang tahunku semalam? Aku meminta kepada Tuhan, supaya kita selalu bersama… Tapi sekarang?,” terbata-bata diantara sesenggukan.
Malam telah menyambut, dan masih setia menemaniku memandang lukisan dari Wanda.
“Terima kasih Wanda. Kamu sahabat yang baik. Aku yakin kamu akan selalu bersamaku. Sepasang merpati ini adalah kita. Kamu pasti tahu itu,” ucapku lirih seraya mengusap air mata.
*end*
Terbit di majalah musik Topchord, bulan Januari 2012
No comments:
Post a Comment