Dan ternyata kenyataan berkehendak lain. Ketika aku tak dekat dengan Dimas (berada dalam kota yang berbeda), Gina meneleponku. Ahhh...seandainya kita semua dalam satu kota, pasti tidak seperti ini ceritanya.
"Hallo," sapanya ketus.
"Iya hallo," kujawab ragu-ragu. Antara sedih dan kalut beradu menjadi satu.
"Lintang, kamu tahu kan kalau Dimas itu pacar aku! Dan kamu tahu gak sih, Dimas itu main-main nembak kamu! Kalau gak percaya, kita conference bertiga," kata Gina menggebu-gebu, seakan tak sabar membuatku terkejut dengan apa yang dikatakannya.
Sedangkan aku hanya terdiam. Dalam posisi seperti ini, aku sangat terlihat salah. Toh, sebenarnya akupun sudah tahu hal ini akan segera terjadi. Dulu, ketika aku memilih terbuang atau membuang diri.
"Sebentar, aku telepon Dimas," tutur Gina.
"Uhhh...sandiwara apa lagi ini? Benarkah alurnya seperti ini?" tanyaku dalam hati.
Aku dan Dimas terdiam. Hanya Gina yang paling semangat membahas masalah ini, sedangkan aku sendiri sudah terlalu pasrah untuk menerima segala tuduhan-tuduhan yang akan dijatuhkan oleh Gina terhadapku.
"Dimas, ngomong dong jangan diam! Kamu nembak Lintang serius apa gak?" tanyanya kepada Dimas.
Seperti cacing yang terkena matahari di siang bolong, aku lesu. Aku melemah, menggeliat. Aku teteskan air mata yang tak sengaja telah berkumpul di pelupuk mata. "Tak bisakah pertanyaan itu dibuat sehalus mungkin?" merasa tak terima diperlakukan seperti ini.
Dimas tak segera menjawab. Aku tak bisa mengira-ngira apa yang sedang dipikirkannya, tapi aku sudah tentu tahu apa yang akan diucapkannya. Karena sejak semula dia bercerita, dia sudah memilih Gina, bukan aku.
"Hallo, Dimas. Cepat, jawab!" suruh Gina lagi lebih tegas.
"Iya, maaf ya Lintang. Aku cuma main-main," jawaban Dimas membuatku limbung.
"Sudahlah Lintang, kamu sudah tahu Dimas akan berkata seperti itu. Dimas terlalu munafik," kataku menenangkan diriku sendiri.
Dan lagi, aku hanya terdiam.
"Lintang, dengar gak?" tanya Gina.
"Iya, aku dengar," jawabku lirih.
Aku paham, Gina sudah terlalu panas untuk mendengarkan serta menyaksikan perselingkuhan kita. Meski ujungnya dia menang, dia masih tetap ingin melihatku benar-benar hancur. Tak sabar, Gina melancarkan serangan pertanyaan lagi kepada Dimas, "jadi, kamu pilih aku atau Lintang?"
Betapa aku tidak bisa mendengarkan pertanyaan itu. Tak manusia menurutku. Sudah cukup aku mendengar pengakuan dari si terdakwa Dimas atas tuntutan si hakim Gina. Permainan apa lagi yang akan dibuat oleh Gina?
"Aku pilih kamu," jawab Dimas. "Sudah-sudah, tidak perlu dibahas lagi!" tukas Dimas kemudian, dan segera menutup conferences dari Gina dan aku.
"Sudah dengar jawaban-jawaban Dimas kan?" tanya GIna kepadaku.
"Iya," tuturku melemah.
"Ya sudah, kamu gak perlu lagi menghubungi Dimas atau menemuinya," ucapnya lagi, dan mengakhiri teleponnya.
"Kamu menang Gin, dan berhasil membuatku benar-benar terbuang," lirihku kepada angin yang telah membawa lari angan cintaku.
-tamat-
No comments:
Post a Comment