Aku masih tetap berjalan meskipun mendung senantiasa menenggelamkan angan yang melambung. Aku masih tetap bermimpi meskipun hanya menjadi sebuah bualan orang-orang syirik yang tak berhati. Ya, aku akan tetap bertahan meskipun masih bisa kudengar teriakan manja kucing jalang sialan. Kucing jalang yang telah membawaku ke alam fana, yang telah memberiku kehidupan yang tak pernah terduga.

“Anak Setan! Ngapain di situ, nguping?” katanya berlalu dengan kibasan muka membelakangiku. Aku yang masih terduduk di samping kamar hanya memandang perempuan yang masih kelihatan sangat muda itu. Dengan balutan lisptik merah yang telah memudar, perempuan itu kembali mengambil cermin dan menambahkan beberapa poles lipstik merah kesayangannya. Aku masih tetap terduduk, terdiam, dan tak mengerti dengan semua tingkahnya, juga dengan semua sebutan-sebutan yang sering ia tujukan untukku. Akan tetapi, aku juga punya sebutan untuknya. Aku senang menyebutnya mama Setan tetapi teman-teman, kenalan-kenalan, dan semua yang mengenal mama Setan memanggilnya hanya dengan sebutan mama. Menurutku, mama senang dengan sebutan yang aku berikan. Awalnya, aku hanya iseng memanggilnya dengan sebutan mama Setan karena aku sering dipanggil anak Setan. Dan terbukti, aku langsung dipanggilnya dengan anak Setan berkali-kali.